Saturday, January 11, 2014

Renungan Penjual Parfum

Lama sudah rasanya saya meninggalkan blog ini, selain karena kesibukan, juga karena koneksi internet yang kurang mumpuni. Setelah sekian lama vakum, insya Allah artikel kali ini lebih appropriate menjadi salam pembuka untuk blog ini.

Hal ini bermula ketika saya magang di Kantor Wilayah KPPN Jakarta, kami satu kelompok yang isinya 14 orang kebetulan mendapatkan giliran untuk magang di kanwil tersebut. Tempatnya sedikit lebih jauh dari tempat kami magang biasanya, sehingga kami harus bangun lebih pagi dan berangkat lebih pagi agar tidak terlambat.

Ketika pertama kali datang, ada satu hal unik yang membuat saya kagum. Ya anda benar, penjual parfum, seperti judul artikel ini. Memangnya apa yang menarik dari seorang penjual parfum? mungkin memang benar, tidak ada yang istimewa dengan si penjual parfum. Saya pun mencoba melihat dengan sisi pandang yang berbeda. Penjual parfum yang saya lihat ini, beliau berjualan di teras musholla, insya Allah istiqomah setiap harinya beliau selalu hadir sebelum sholat dhuhur dan pulang setelah sholat ashar.

Bapak penjual parfum ini selalu menggunakan pakaian koko (busana muslim lelaki) dengan desain yang simple dan menggunakan kopyah atau songkok dikepalanya. Bila dilihat harga dagangannya, parfum yang ditawarkan tergolong murah meriah, paling murah harganya Rp5000-10.000, paling mahal Rp50.000. Terpikir dalam benak saya, berapa ya kira-kira untungnya bapak ini?. Sambil menunggu dagangannya laku (atau minimal dilihat dan dicoba orang), biasanya beliau selalu membaca al-qur'an pocket yang selalu dibawanya di kantong bajunya. Entah mengapa saya melihat ketenangan dalam mata beliau. Saya melihat seolah beliau tidak pernah khawatir dagangannya tidak laku. Beliau sungguh terlihat begitu kalem, seolah berkata pada dirinya sendiri "Rejeki saya hari ini sudah ada yang mengatur". Tidak pernah saya lihat penjual parfum seperti ini (mungkin banyak lainnya, namun ini yang pertama saya temukan), beliau tidak menggebu dalam berjualan apalagi sampai menambahkan "bumbu-bumbu" palsu yang biasa penjual berikan ketika hendak membeli dagangannya.

Ada pelajaran berharga yang dapat saya lihat disini, dengan jualannya si penjual parfum yang seperti itu, dan dengan biaya hidup jakarta yang begitu tinggi, rasanya kalau dilogika tidak akan cukup. Terlebih lagi parfum bukanlah kebutuhan primer, yang artinya belum tentu setiap hari orang membeli parfum. Namun beliau masih sehat-sehat saja dan masih bisa "hidup" dalam kerasnya ibukota. Itulah hal kecil namun penting yang sering kita lupakan, tulisan ini sekaligus menjadi pengingat bagi saya kedepannya, bahwa memang benar Allah yang menjamin rejeki hambanya. Seringkali kita merasa tidak cukup dengan apa yang kita punya, dan merasa ingin lebih terus. Namun bila kita bisa berkaca dalam kehidupan orang-orang sederhana seperti si Penjual Parfum ini, insya Allah kita akan selalu merasa cukup.

Best Regards untuk teman-teman semua :)